Minggu, 12 Agustus 2012

#Part 1# Your Smile :)



Disini aku berdiri. Memandangi sebuah lukisan yang menggambarkan betapa perihnya hati seorang gadis ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya. Sekilas, lukisan itu bukanlah apa-apa. Namun, bagiku yang mengalami penderitaan yang sama,  tentu tau betul apa yang sedang pelukis itu sampaikan melalui goresan-goresan tinta yang memenuhi kanvas miliknya. Aku turut merasakan kehilangan yang ia coba tunjukkan dalam setiap ayunan kuasnya. Membuatku mengingat kepahitan hidup yang aku alami setahun silam. Dimana pada awalnya aku merasa tak ada lagi orang yang menjadi alasanku untuk tetap semangat menjalani kehidupan yang kejam ini. Hingga aku menemukan sebait kalimat berharga yang kujadikan pedoman untuk tetap tersenyum.

***

“Hiks, hiks, huuu...uuu,” aku menangis tersedu-sedu sambil memeluk lututku kaku. Untuk gadis berusia 13 tahun, aku membutuhkan sebuah tempat dimana aku dapat menangis sekeras yang aku mau, tanpa ada seorang pun yang tau termasuk orangtua ku. Taman ini, hanya taman inilah tempat yang paling pas untuk meluapkan segala emosi jika itu menguasaiku. Taman yang aku pijaki saat ini memang jarang dikunjungi orang, bahkan tidak ada satupun orang yang mau mengunjunginya. Padahal taman ini jauh lebih indah dan asri dari taman yang ada di dalam perumahan yang aku tinggali. Jujur, aku tidak mengetahui alasannya, selain taman ini berada cukup jauh dari kompleks rumahku. Namun, aku mengetahui jalan pintasnya, sehingga saat aku merasa sedih, tanpa ragu aku mengayuh sepedaku menyusuri jalan pintas menuju taman ini.

“Hei, apa kau menangis?” tanya sebuah suara yang aku yakini seorang laki-laki. Aku terdiam, dan mencoba menghentikan tangisanku.
“Apa kau mendengarku??” aku pun masih tidak menggubris pertanyaannya.
“Bagaimana mungkin gadis seusiamu masih menangis seperti itu. Kau bahkan mengetahui kalau itu sangat memalukan! Kau tidak lebih dari anak usia 4 tahun yang merengek minta dibelikan boneka oleh ibunya. Hahahahahahahah!” Ledeknya padaku.
“Kau siapa?? Apa urusanmu?? Pergi sana! Jangan mencampuri urusanku!!” jawabku ketus seraya menatap tajam pria yang sepertinya lebih tua dariku itu. Aku merasa terhina saat dia bilang bahwa aku tidak lebih dari anak usia 4 tahun. Ciihhh! Memang ada yang melarang gadis-gadis seusiaku untuk menangis? Tidak kan?!
“Sungguh tatapanmu membuatku takut.” Godanya dengan ekspresi ketakutan yang dibuat-buat itu. Jujur saja, dia sungguh menyebalkan, ingin rasanya aku menimpukinya dengan batu.
“Baguslah.” Aku mendengus dan kembali menatapnya tajam setajam samurai.
“Hahahaha, maafkan aku. Aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin menarik perhatianmu agar mau menjawab pertanyaanku, dan...”
“Dan apa?” aku menunggu lanjutannya.
“Dan sepertinya cara ku berhasil.” Ia menunjukkan deretan gigi rapinya padaku. “Habis, kau ku tanya tidak menjawab.” Tambahnya. Aku menanggapinya dengan ber-oh panjang.
“Mm, k-kenapa kau menangis tadi?” tanyanya canggung. Sepertinya, ia takut membahasnya tapi rasa penasaran terlihat kental di wajahnya.
“Apakah penting bagimu untuk tau?” aku berusaha agar terlihat ketus dalam nada suaraku, meskipun kedengarannya tidak.
“Sepertinya, tidak terlalu.” Jawabnya singkat. Tak lama kemudian dia melanjutkan kalimatnya, “Kau tidak perlu menceritakannya padaku jika kau keberatan. Aku hanya ingin menawarkan kebaikanku, barangkali kau butuh seseorang untuk bercerita. Kalau kau mau, aku siap mendengarkanmu.”
“Begitu ya??” Tanpa sadar mulut ini menggumamkan sesuatu.
“Hmmm?” tanyanya bingung.
“Ahhh, tidak. Bukan apa-apa! Maaf, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Aku menghargai niat baikmu, maybe next time??” aku yakin kalimat terakhirku jauh lebih terdengar sebagai pernyataan ketimbang pertanyaan, dan kuharap pria ini mengerti. Aku bukan tak mau menceritakan masalahku pada seorang teman seperti yang dia tawarkan, justru sebaliknya. Aku sangat membutuhkan teman curhat, setidaknya seorang teman mampu membuat hati dan pikiranku jauh lebih plong, hanya saja aku merasa bercerita pada seorang pria bukan hal yang bagus jika kau mau rahasiamu aman, lagipula aku tidak mengenalnya.
“Kau tau? Menceritakan masalah atau rahasiamu pada seorang pria, jauh lebih aman dari pada menceritakannya pada teman perempuanmu. Kami –kaum pria- merupakan penjaga rahasia yang paling baik, setidaknya itulah beberapa hal yang dapat aku ambil dari hasil riset yang pernah aku baca.” Kata-katanya membuatku terkejut, dia seperti  mampu membaca pikiranku. ‘Apa dia seorang peramal?? Atau dia anak didiknya Dedi Corbuzier?’ Ahh, tidak mungkin! Mengapa pikiranku jadi ngelantur seperti ini, sih??
“Aku Kevin Rasta, kau bisa memanggilku Kevin.” Ujarnya lagi. Refleks, ku palingkan tatapanku ke arahnya, menyelami setiap lekukan wajahnya dalam diam. Detik itu juga aku menyadari bahwa dia terlihat sangat tampan dan... berbeda. Wajahnya tidak seperti orang Asia Tenggara kebanyakan. Terdapat sentuhan Asia Timur, dan juga Eropa.
Dia berbalik memandangku, “Kenapa kau memandangiku seperti itu?? Aaahh, pasti karena wajahku yang tidak seperti orang Indonesia, bukan??” Aku tersentak kaget, lagi-lagi dia berhasil membaca pikiranku dengan tepat.
“E-eh, i-iya begitulah. Pasti kau bukan penduduk asli, tapi kenapa bahasa Indonesia-mu fasih sekali?? Umm, sudah lama menetap di Indonesia??” Jawabku gugup, yang kemudian ku lanjutkan dengan pertanyaan untuk memuaskan hasrat ingin tau ku.
“Tidak juga. Ibuku asli Indonesia, beliau orang Yogyakarta. Sedangkan ayahku blasteran Korea-Irlandia. Mereka bertemu di Indonesia, tepatnya saat ayahku mengadakan penelitian di Yogya sewaktu kuliah.” Jelasnya dengan senyumnya yang terus mengembang. Lagi-lagi aku kembali melihat wajahnya, tenggelam dalam keceriaan yang ia pancarkan melalu senyumannya itu. Sejujurnya, baru kali ini aku melihat seseorang tersenyum indah dengan penuh ketulusan seperti dia.
“Hei, apakah kau terpesona dengan ketampananku? Sampai-sampai kau tidak mengedipkan matamu sekalipun, ckckckck..” Dia menggelengkan kepalanya setelah mengucapkan kata-kata yang membuatku salah tingkah itu.
Aku memperbaiki posisi dudukku, dan kembali menatap lurus kedepan, “T-tidak! Jangan kegeeran. Aku hanya, aku hanya.. hanya..”
“Hanya apa??” tanyanya sambil tersenyum menggoda.
“Aku hanya.. Hanya memperhatikan kotoran yang ada pada matamu.” Jawabku asal. Bodoh! Kenapa aku menjawab seperti ituu?? Hah, sudahlah! Pasti dia telah memikirkan sesuatu yang buruk tentangku.
“Ha?” dia tampak kaget. “Padahal aku sudah mandi, dan berkaca, memastikan tidak ada sesuatu apapun di wajahku.” ujarnya, sambil meraba sekeliling mata hazel-nya mencari kotoran yang sebenarnya tidak ada itu.
“Apa?? K-kau bercermin?? Aku kira hanya wanita yang tahan bercermin berjam-jam, demi memastikan ia tampil sempurna setiap harinya.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan yang sebenarnya tidak berguna itu. Aku memaksakan tawaku, tapi tawa itu malah terdengar mengerikan.
Kevin tetap sibuk meraba-raba matanya mencari kotoran semu itu. Ia tampak tidak memedulikan kata-kataku. “Sudahlah, hentikan pencarian kotoran itu. Sekarang matamu sudah bersih.” Kataku yang mulai jengah melihat kelakuan laki-laki yang duduk disebelahku ini. “By the way, selama ini kau menetap dimana? Kau bilang, kau juga merupakan keturunan Korea, berarti kau juga fasih berbicara dalam bahasa korea, dong?” tanyaku kemudian. Entah hal apa yang membuatku ingin sekali mengorek-ngorek informasi lebih dalam mengenai lelaki ini. Padahal, 30 menit yang lalu aku sama sekali tidak peduli, bahkan aku menunjukkan sikap tidak bersahabat dengannya.
Ia mulai menjawabku, setelah tidak lagi sibuk dengan matanya, “Aku? Ohh, selama ini aku menetap di Manchester bersama ibu dan kedua kakakku. Pekerjaan ayah mengharuskanku untuk tetap tinggal di sana. Sedang, ayah tidak serumah dengan kami, beliau sering berpergian ke luar negeri untuk menyelesaikan penelitiannya, dan akan kembali ketika musim panas tiba.” Ia berhenti sejenak untuk menghirup udara segar di taman ini, sekilas aku melihat raut kesedihan saat ia membahas ayahnya, terbesit seberkas kerinduan mendalam disetiap kata-kata yang ia ucapkan. “Mm, soal Korea... Jujur aku tidak tau banyak. Aku juga tidak dapat berbahasa Korea selancar aku berbicara dalam bahasa Indonesia. Aku tidak seperti kedua kakakku yang begitu tergila-gila dengan K-Pop, K-Drama ataupun semacamya. Karena aku seorang pria, mungkin itu salah satu faktornya. Disaat kedua kakakku mendatangi ayah –ketika beliau tidak sibuk- untuk memintanya menjelaskan apapun tentang Korea, justru aku akan dengan senang hati mendatangi ibuku untuk menjelaskan Indonesia padaku. Aku lebih tertarik dengan budaya Indonesia dan apapun yang ada di sini. Aku menyukai keramahan setiap penduduknya, berbeda dengan di Eropa ataupun di Korea. Korea, meskipun mereka ramah tapi tetap saja aku merasakan atmosfer yang berbeda ketika aku berada disini –Indonesia-.  Kata ibu, aku seperti ayah. Beliau juga jauh lebih mencintai Indonesia ketimbang kampung halamannya sendiri. Baginya sampai ke Indonesia dan bertemu ibu adalah anugerah. Dan itu jugalah yang aku rasakan saat ini.” Tambahnya.
Aku mendengarkan dengan seksama, seolah tidak ingin ketinggalan satu hurufpun dalam setiap untaian katanya. Kemudian aku kembali bertanya, “Lantas apa yang membuatmu berada di Indonesia sekarang?? Apa kau berlibur? Apakah ibumu ikut??” pertanyaan itu mengucur deras dari mulutku tanpa bisa aku kendalikan. Aku terlihat seperti anak kecil yang menuntut sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konyolnya.
“Kau sungguh memiliki rasa ingin tau yang besar, hahahaha” ia tergelak. “Aku tidak sedang berlibur, dan tentu aku bersama ibuku. Aku dan ibu memutuskan untuk menetap di Indonesia. Kedua kakakku sudah lulus SMA, dan sedang melanjutkan kuliahnya. Mereka berdua memutuskan untuk mengambil universitas berbeda dan juga di negara yang berbeda. Jika kakak tertuaku memilih Boston, maka kakak keduaku memilih Sydney sebagai kota tujuannya. Sejujurnya aku bingung melihat tingkah mereka, terlebih pada kakakku yang kedua, sungguh banyak universitas bagus di Eropa dan Amerika, tapi dia jauh-jauh terbang ke Australia untuk melanjutkan sekolahnya. Terkadang aku merasa, bahwa mereka sungguh konyol.” Dia tersenyum ketika mengatakan hal itu, sepertinya ia sedang mengenang masa-masa indah bersama kedua kakaknya. “Karena itulah, aku dan ibu memutuskan untuk pindah ke sini, kami merasa kesepian disana. Dan untungnya, ayah menyetujuinya. Ayah juga tidak tega jika harus meninggalkan kami berdua di Manchester, jadi ia setuju atas keputusan ini. Menurutnya, ibu dan aku akan lebih aman jika berada di Indonesia.” Jelasnya panjang lebar. Aku menatap wajahnya, senyumannya belum juga sirna. Hampir saja aku kembali terhipnotis dengan senyuman dan keceriannya, hingga aku merasakan ada getaran yang berasal dari kantong bajuku. Aku mengambil smartphone yang aku letak di dalam kantong bajuku. Aku melihat pada LCD nya. Ada sms, dari Ibu...

From: Mommy
Aira, kamu dimana, Nak? Ayah mencarimu dari tadi...

Seketika aku beranjak dari bangku yang sedari tadi aku duduki bersama Kevin, ia tampak kaget melihatku yang bergegas ingin pergi dari taman ini.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ayahku mencariku, aku harus pulang sekarang. Aku tak mau mereka khawatir, dan aku tak mau terjadi sesuatu padaku jika aku lebih lama lagi disini.” Aku mencoba menjawabnya dengan tenang.
Seolah mengerti keadaanku, dia berujar, “Baiklah, hati-hati ya!” Ia kembali tersenyum, dan akupun membalas senyumannya. Mungkin inilah senyuman pertama yang aku berikan padanya, mengingat kelakuanku yang begitu kasar terhadapnya tadi. Tapi tak lama, aku mendengar dia mencegatku.
“Tunggu! Izinkan aku untuk mengetahui namamu lebih dulu.” Dia terlihat polos saat menanyakan hal itu. Aku menepuk jidatku, aku sampai lupa mengenalkan diriku saking seriusnya mendengar kisah hidup seorang Kevin Rasta. Lagi pula, dia sama sekali tidak menanyakan namaku tadi, jadi ini bukan sepenuhnya salahku.
“Aira, namaku Aira..” jawabku cepat, namun aku berusaha membuatnya terdengar jelas dengan mengulangnya. Aku bergegas mengambil sepedaku, dan langsung mengayuhnya dengan kecepatan tinggi untuk ukuran sebuah sepeda. Sebelum aku meninggalkan taman itu, aku masih melihatnya berdiri mematung, memandangi kepergianku dengan sebuah senyuman yang mampu membuatku terhipnotis itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar