Senin, 13 Agustus 2012

#Part 2# Your Smile :)

Aku sampai di rumah. Terdengar suara besar ayah saat aku memakirkan sepedaku di garasi. Lagi-lagi mereka berantem. Mungkin aku memaklumi jika itu terjadi sekali atau dua kali, tapi mereka melakukannya setiap hari. Itu jugalah yang membuatku selalu melarikan diri ke tempat-tempat yang tidak mudah dijangkau oleh orang lain, salah satunya taman itu. Dulu, ayah dan ibu tidak seperti ini, setidaknya sampai Kak Keisha meninggal pada kecelakaan 5 tahun lalu. Sejak saat itu suasana rumah jauh berbeda, tidak ada lagi canda tawa seperti biasanya. Setiap mereka membahas kematian Kak Keisha pasti berujung pada perkelahian. Mereka seolah tidak memedulikan keberadaanku, mereka tidak menyadari bagaimana sakitnya aku ketika Kak keisha, kakakku yang paling aku sayang meninggalkan aku. Ditambah lagi, aku harus menyaksikan perkelahian ayah dan ibuku setiap harinya. Kalau aku boleh memilih, aku akan menyusul Kak Keisha di surga.

***
5 tahun lalu. Ibu mengajak kami –aku dan Kak Keisha- bermain di taman seperti biasanya. Aku turut membawa kucing kesayanganku. Saat aku sedang bermain dengan kucingku, tiba-tiba saja kucing itu berlari ke tengah jalan. Aku mencoba menyusul kucing itu, tapi dikejauhan aku melihat sebuah truk hendak melintasi jalanan di depanku. Tiba-tiba, Kak Keisha berlari ke arah kucing itu.  Naas, truk besar itu menghantam tubuh kecil Kak Keisha. Aku shock dan seketika tubuhku mematung. Ibu berteriak dan langsung menghampiri Kak Keisha yang sudah tergeletak penuh darah. Aku tidak mampu berbuat apapun selain menangis. Tak lama, Ayah datang diikuti mobil ambulance. Mereka langsung membopong  tubuh Kak Keisha masuk ke dalam mobil berwarna putih itu. Ibu juga ikut mengantar Kak Keisha dengan ambulance itu. Ayah datang menghampiriku dan menggendongku. Aku masih menangis, malah semakin keras. Ayah tak kuasa melihatku yang begitu shock, ia mencoba menenangkan ku meskipun sebenarnya dia juga begitu rapuh saat ini. Bagaimana tidak? Kak Keisha begitu dekat dengan ayah, dan sekarang ayah harus menghadapi kenyataan bahwa putri terdekatnya itu sedang sekarat. Dalam hati aku menyalahkan diriku sendiri, kalau saja aku tidak bermain dengan kucing itu, dan kucing itu tidak berlari ke tengah jalan, maka Kak Keisha tidak akan seperti ini. Aku merasa berdosa pada ayah, dan ibu. Aku merasa bersalah pada Kak Keisha. Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri saat itu.
Masih terbayang olehku, saat dokter berkata kalau jiwa Kak Keisha tidak bisa diselamatkan. Mendengar itu, ibu menangis histeris dan ayah? Beliau meninjukan tangannya pada sebuah tembok tanda frustasi. Baru kali ini aku melihat ayah seperti itu, biasanya beliaulah yang selalu menghadirkan tawa dan canda di rumah. Sejak saat itu, tidak ada lagi senyuman dan keceriaan yang terpancar dari wajah ayah, ibu, maupun diriku sendiri. Sekeras apapun aku berusaha tersenyum, tetap saja senyuman itu terasa hambar. Aku selalu menyembunyikan kesedihan dari orang-orang yang berada disekelilingku, aku berusaha bersikap bahwa tidak ada yang terjadi pada diriku pasca kejadian itu. Pada kenyataannya semua berbanding terbalik...

***

“Aku pulang...” ucapku ketika membuka pintu rumah yang tidak terkunci.
“Dari mana saja kamu??” kata Ayah yang tiba-tiba saja sudah ada di depanku.
“Dari taman.” Jawabku singkat.
“Sudah berapa kali ayah bilang, jangan bermain terlalu jauh dari rumah! Tidak bisakah kamu bercermin dari apa yang sudah terjadi pada kakakmu?!” bentak ayah. Ibu datang menghampiriku, dan memeluk tubuhku. Ibu mencoba menenangkan ayah agar tidak lagi memarahiku.
“Ayah, kakak sudah meninggal 5 tahun lalu! Kenapa ayah selalu mengungkit kematian kakak?? Biarkan kakak tenang, yah..” ujarku. Mendadak mataku panas, dan pandanganku sudah mulai mengabut. Aku menggigit bibir bawahku agar air mataku tidak menggenang. “Ayah dan ibu selalu kelahi ketika sudah membahas kematian kakak. Ayah selalu memarahi ibu dan menyalahkannya. Ketika itu terjadi, kalian selalu membahas perceraian. Kalian begitu egois! Kalian berkelahi di depan mataku tanpa memikirkan perasaanku.” Aku menarik napas panjang, mencoba mengatur emosiku yang meledak letup. “Ayah, bisakah ayah tidak membahas kematian kakak lagi? Bisakah ayah hidup tanpa bayang-bayang kakak? Ayah berlaku seperti hanya kakak, satu-satunya putri yang ayah harapkan. Lantas, bagaimana denganku?? Bisakah ayah sekali saja memikirkan diriku? Perasaanku? Bisakah ayah kembali seperti dulu? Menjadi orang yang penuh canda dan tawa?” aku tak kuasa menahan air mataku. Aku sudah berusaha sekuat mungkin, tapi aku tidak bisa.
Ayah tampak kaget mendengar perkataanku, begitu juga dengan ibu. Mereka tidak menyangka, jika akulah yang paling menderita disini. “Aira, maafkan ayah, Nak! Ayah takut kehilangan dirimu seperti halnya ayah kehilangan Keisha. Maafkan ayah! Ayah tidak memikirkan perasaanmu, ayah tidak menyadari bahwa kaulah yang paling menderita saat ini. Maafkan ayah, maafkan ayah! Ayah berjanji, ayah akan melepas dan mengikhlaskan kepergian kakakmu, ayah tidak akan mengungkit masalah itu lagi. Ayah berjanji akan kembali seperti dahulu, menjadi ayah yang diharapkan oleh putri ayah selama ini.” Ayah menitikkan air matanya. Kemudian, dia memelukku erat. Aku merasakan kehangatan yang selama 5 tahun ini sangat jarang aku rasakan. Kembali aku menangis dalam pelukan ayah, juga ibuku. Ayah melepaskan pelukannya, dan menghampiri ibu untuk meminta maaf. Inilah yang aku harapkan, keharmonisan keluarga. Aku tersenyum melihat ayah dan ibuku yang kini telah berbaikan. Aku berharap semua ini akan bertahan lama.

***

Cahaya matahari pagi membangunkanku. Aku melihat jam yang tergantung di dinding kamar, jam 06.30. Aku merasa senang hari ini, semangat baru menguasai tubuhku. Bergegas, aku mengambil handukku dan berlari ke kamar mandi yang tak jauh dari kamarku. Setelah selesai berpakaian, aku langsung menuruni tangga dan berjalan ke arah ruang makan. Aku melihat ayah yang sedang asyik dengan korannya sambil menunggu ibu yang masih menyiapkan sarapan.
“Pagi ayah, pagi ibu!” sapaku riang sambil menciumi pipi mereka. Aku menarik kursi yang berada di sebelah ayah, dan duduk di atasnya.
“Pagi sayang.” Balas ayah dan ibu serentak. Mereka saling berpandangan, dan aku tertawa melihatnya.
“Sepertinya anak ayah senang sekali hari ini, apa ada sesuatu yang terjadi?” tanya ayah seraya memandangi wajahku.
“Tentu! Pagi ini indah sekali. Aku bisa menikmati sarapan bersama kalian.” Jawabku.
“Bukankah kita selalu melakukannya?” kali ini ibu yang bertanya.
“Memang, tapi kali ini suasananya berbeda.” Jawabku lagi. Ayah dan ibu tersenyum memandangiku, seolah mengerti apa yang aku maksudkan.
“Ayah, nanti aku izin pergi ke taman ya?” pintaku pada ayah.
“Taman? Untuk apa?” tanya ayah. Raut wajhanya berubah serius.
“Ayah, ayolah! Bukankah ayah sudah berjanji untuk..” ucapku gantung. Aku sengaja melakukannya, berharap ayah mengerti apa yang ku maksud.
“Iya, iya boleh. Ayah hanya ingin menggodamu. Tapi, bukankah tak ada lagi alasanmu untuk pergi ke taman?” tanya ayah sambil mengoleskan selai blueberry pada rotinya.
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Setahu ayah, kamu pergi ke taman untuk melampiaskan kesedihanmu. Dan sekarang apa lagi yang ingin kamu lampiaskan?”
“Bagaimana ayah bisa tau?” tanyaku sambil menaikkan sebelah alis mataku.
“Mm, naluri seorang ayah.” Jawabnya asal.
“Benarkah itu naluri?? Jangan-jangan ayah menyewa detektif untuk menyelidikiku?? Atau ayah berubah menjadi stalker??” tanyaku ngawur.
“Hahahahaha, kamu ini ada-ada saja.” Ucap ayah, tertawa geli.

***

Aku berjalan dan memandangi sekeliling taman. Sebenarnya, aku tidak tau apa alasanku datang ke taman ini. Betul kata ayah, aku sudah tidak mempunyai alasan untuk berkunjung ke taman ini. Tapi, entah kenapa aku berharap, aku dapat bertemu dengan Kevin. Aku... aku ingin mengucapkan terima kasih. Secara tidak langsung, cerita tentang kehidupannya membuatku berani mengatakan semua yang aku rasakan pada ayah dan ibuku. Dan.... aku ingin melihat senyumannya lagi.
“Hai Aira! Apakah kau menungguku??” tanya sebuah suara dari orang yang memang sangat aku tunggu kehadirannya.
“A-apa? Ti-tidak mungkin. Untuk apa aku menunggumu?? Jangan kegeeran deh!” jawabku gugup.
“Hahahaha, jujur saja. Aku bisa memakluminya.”
“Aaah, lupakan saja! Btw, thanks a lot!” ucapku padanya.
“Terima kasih atas apa??” tanyanya bingung.
“Mm, bagaimana mengungkapkannya? Umm, secara tidak langsung ceritamu membantuku untuk memecahkan masalah.” Jawabku.
“Tapi, kau belum menceritakan masalahmu padaku.”
“Itu tidak penting, yang jelas kau telah membantuku.” Ujarku sambil tersenyum. Kemudian, aku berjalan menuju bangku taman yang biasa aku duduki.
“Begitu ya?? Baiklah.” Dia mengikuti ku dan duduk di sebelahku.

Hening.. itulah yang terjadi setelah ia duduk disebelahku. Jujur, aku tidak tau apa yang harus aku bicarakan padanya.
“Aira, berapa umurmu?” pertanyaannya memecah keheningan diantara kami.
“13 tahun, kau??”
“Aku? 15 tahun. Berarti kau lebih muda dariku. Seharusnya kau memanggilku kakak.” Jawabnya. Benar dugaanku, ia memang lebih tua dariku.
“Kakak?? Haruskah aku memanggilmu begitu?” tanyaku padanya.
“Tentu, bukankah budaya di Indonesia begitu kental. Kau harus memanggil seseorang yang lebih tua dengan sebutan kakak.” Jelasnya.
“Baiklah, kalau begitu aku akan memanggilmu Kak Kevin.” Ujarku, lalu tersenyum. Entah apa yang membuatku menuruti perkataannya, padahal biasanya sulit bagiku untuk menuruti perkataan orang lain. Tapi, entah kenapa, aku merasa nyaman berada di samping pria ini.
“Bagus, kau memang anak yang baik dan penurut.” Balasnya sambil membalas senyumku. ‘Ya Tuhan, haruskah dia tersenyum sekarang.’ Batinku. Lagi-lagi senyumannya mampu membuatku salah tingkah. “Mm, Aira, apakah kau mempunyai seorang kakak?” tanyanya tiba-tiba.
“Ada. Aku mempunyai kakak perempuan yang usianya lebih tua 3 tahun dariku. Tapi, dia sudah meninggal 5 tahun lalu.” Jawabku. Aku tersenyum hambar, pertanyaannya membuatku harus mengingat kejadian mengenaskan itu.
“Ahh, ohh, mm, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk... Maaf, aku tidak mengetahuinya.” Ucapnya menyesal.
“Bukan masalah. Itu juga bukan salahmu, kan?” balasku kemudian. “Mm, Kak, kau bersekolah dimana?” tanyaku memecahkan kecanggungan yang sempat terjadi diantara kami.
“Di President International High School. Aira sendiri??” tanyanya balik.
“President, kak?? Itukan sekolah internasional paling bagus di Indonesia. Rencananya, tamat SMP aku mau ngelanjutin sekolah disitu. Sekarang aku masih sekolah di SMPN 1 kak. Ayah gak ngizinin aku sekolah di swasta, Ayah bilang lebih baik negeri daripada swasta. Padahal, dari dulu aku pengen ngerasain sekolah di swasta. Tapi, bagaimanapun juga, aku harus nurutin kata-kata Ayah. Karena aku tau itu yang terbaik buat aku. Yah, setidaknya ayah masih ngasih kesempatan untu bersekolah di swasta SMA nanti.” Jelasku panjang lebar.
Makin lama, topik pembicaraan kami semakin luas. Aku mulai merasa dekat dengan Kevin. Aku merasakan kehadiran seorang kakak saat bersamanya. Tidak jarang aku tertawa mendengar perkataannya. Tidak jarang juga aku mengagumi setiap kata-kata bijak yang ia ucapkan. Meskipun aku baru mengenalnya kemarin, tapi aku merasa bahwa aku telah mengenalnya bertahun-tahun sebelumnya.
Hari sudah menjelang sore. Aku tidak sadar, entah sudah berapa lama aku di taman bersamanya. Padahal, aku izin hanya untuk beberapa jam saja.
“Kak, sudah sore. Aku pulang dulu, ya?” pamitku padanya. Aku harus pulang sekarang, aku tidak mau membuat ayah dan ibu khawatir.
“Ohh, baiklah. Hati-hati ya.” Balasnya. Aku mengangguk ke arahnya. Aku berjalan menghampiri sepedaku dan mulai menaikinya.
“Aira..” panggil Kevin, aku pun menoleh ke arahnya. “Terima kasih atas waktunya hari ini. Sampai jumpa.” Ucapnya sambil tersenyum. Aku kembali mengangguk dan membalas senyumannya. Hari ini, memang hari terbaik yang pernah ada.

***

Minggu, 12 Agustus 2012

#Part 1# Your Smile :)



Disini aku berdiri. Memandangi sebuah lukisan yang menggambarkan betapa perihnya hati seorang gadis ditinggalkan oleh seseorang yang dicintainya. Sekilas, lukisan itu bukanlah apa-apa. Namun, bagiku yang mengalami penderitaan yang sama,  tentu tau betul apa yang sedang pelukis itu sampaikan melalui goresan-goresan tinta yang memenuhi kanvas miliknya. Aku turut merasakan kehilangan yang ia coba tunjukkan dalam setiap ayunan kuasnya. Membuatku mengingat kepahitan hidup yang aku alami setahun silam. Dimana pada awalnya aku merasa tak ada lagi orang yang menjadi alasanku untuk tetap semangat menjalani kehidupan yang kejam ini. Hingga aku menemukan sebait kalimat berharga yang kujadikan pedoman untuk tetap tersenyum.

***

“Hiks, hiks, huuu...uuu,” aku menangis tersedu-sedu sambil memeluk lututku kaku. Untuk gadis berusia 13 tahun, aku membutuhkan sebuah tempat dimana aku dapat menangis sekeras yang aku mau, tanpa ada seorang pun yang tau termasuk orangtua ku. Taman ini, hanya taman inilah tempat yang paling pas untuk meluapkan segala emosi jika itu menguasaiku. Taman yang aku pijaki saat ini memang jarang dikunjungi orang, bahkan tidak ada satupun orang yang mau mengunjunginya. Padahal taman ini jauh lebih indah dan asri dari taman yang ada di dalam perumahan yang aku tinggali. Jujur, aku tidak mengetahui alasannya, selain taman ini berada cukup jauh dari kompleks rumahku. Namun, aku mengetahui jalan pintasnya, sehingga saat aku merasa sedih, tanpa ragu aku mengayuh sepedaku menyusuri jalan pintas menuju taman ini.

“Hei, apa kau menangis?” tanya sebuah suara yang aku yakini seorang laki-laki. Aku terdiam, dan mencoba menghentikan tangisanku.
“Apa kau mendengarku??” aku pun masih tidak menggubris pertanyaannya.
“Bagaimana mungkin gadis seusiamu masih menangis seperti itu. Kau bahkan mengetahui kalau itu sangat memalukan! Kau tidak lebih dari anak usia 4 tahun yang merengek minta dibelikan boneka oleh ibunya. Hahahahahahahah!” Ledeknya padaku.
“Kau siapa?? Apa urusanmu?? Pergi sana! Jangan mencampuri urusanku!!” jawabku ketus seraya menatap tajam pria yang sepertinya lebih tua dariku itu. Aku merasa terhina saat dia bilang bahwa aku tidak lebih dari anak usia 4 tahun. Ciihhh! Memang ada yang melarang gadis-gadis seusiaku untuk menangis? Tidak kan?!
“Sungguh tatapanmu membuatku takut.” Godanya dengan ekspresi ketakutan yang dibuat-buat itu. Jujur saja, dia sungguh menyebalkan, ingin rasanya aku menimpukinya dengan batu.
“Baguslah.” Aku mendengus dan kembali menatapnya tajam setajam samurai.
“Hahahaha, maafkan aku. Aku tidak bermaksud demikian. Aku hanya ingin menarik perhatianmu agar mau menjawab pertanyaanku, dan...”
“Dan apa?” aku menunggu lanjutannya.
“Dan sepertinya cara ku berhasil.” Ia menunjukkan deretan gigi rapinya padaku. “Habis, kau ku tanya tidak menjawab.” Tambahnya. Aku menanggapinya dengan ber-oh panjang.
“Mm, k-kenapa kau menangis tadi?” tanyanya canggung. Sepertinya, ia takut membahasnya tapi rasa penasaran terlihat kental di wajahnya.
“Apakah penting bagimu untuk tau?” aku berusaha agar terlihat ketus dalam nada suaraku, meskipun kedengarannya tidak.
“Sepertinya, tidak terlalu.” Jawabnya singkat. Tak lama kemudian dia melanjutkan kalimatnya, “Kau tidak perlu menceritakannya padaku jika kau keberatan. Aku hanya ingin menawarkan kebaikanku, barangkali kau butuh seseorang untuk bercerita. Kalau kau mau, aku siap mendengarkanmu.”
“Begitu ya??” Tanpa sadar mulut ini menggumamkan sesuatu.
“Hmmm?” tanyanya bingung.
“Ahhh, tidak. Bukan apa-apa! Maaf, aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Aku menghargai niat baikmu, maybe next time??” aku yakin kalimat terakhirku jauh lebih terdengar sebagai pernyataan ketimbang pertanyaan, dan kuharap pria ini mengerti. Aku bukan tak mau menceritakan masalahku pada seorang teman seperti yang dia tawarkan, justru sebaliknya. Aku sangat membutuhkan teman curhat, setidaknya seorang teman mampu membuat hati dan pikiranku jauh lebih plong, hanya saja aku merasa bercerita pada seorang pria bukan hal yang bagus jika kau mau rahasiamu aman, lagipula aku tidak mengenalnya.
“Kau tau? Menceritakan masalah atau rahasiamu pada seorang pria, jauh lebih aman dari pada menceritakannya pada teman perempuanmu. Kami –kaum pria- merupakan penjaga rahasia yang paling baik, setidaknya itulah beberapa hal yang dapat aku ambil dari hasil riset yang pernah aku baca.” Kata-katanya membuatku terkejut, dia seperti  mampu membaca pikiranku. ‘Apa dia seorang peramal?? Atau dia anak didiknya Dedi Corbuzier?’ Ahh, tidak mungkin! Mengapa pikiranku jadi ngelantur seperti ini, sih??
“Aku Kevin Rasta, kau bisa memanggilku Kevin.” Ujarnya lagi. Refleks, ku palingkan tatapanku ke arahnya, menyelami setiap lekukan wajahnya dalam diam. Detik itu juga aku menyadari bahwa dia terlihat sangat tampan dan... berbeda. Wajahnya tidak seperti orang Asia Tenggara kebanyakan. Terdapat sentuhan Asia Timur, dan juga Eropa.
Dia berbalik memandangku, “Kenapa kau memandangiku seperti itu?? Aaahh, pasti karena wajahku yang tidak seperti orang Indonesia, bukan??” Aku tersentak kaget, lagi-lagi dia berhasil membaca pikiranku dengan tepat.
“E-eh, i-iya begitulah. Pasti kau bukan penduduk asli, tapi kenapa bahasa Indonesia-mu fasih sekali?? Umm, sudah lama menetap di Indonesia??” Jawabku gugup, yang kemudian ku lanjutkan dengan pertanyaan untuk memuaskan hasrat ingin tau ku.
“Tidak juga. Ibuku asli Indonesia, beliau orang Yogyakarta. Sedangkan ayahku blasteran Korea-Irlandia. Mereka bertemu di Indonesia, tepatnya saat ayahku mengadakan penelitian di Yogya sewaktu kuliah.” Jelasnya dengan senyumnya yang terus mengembang. Lagi-lagi aku kembali melihat wajahnya, tenggelam dalam keceriaan yang ia pancarkan melalu senyumannya itu. Sejujurnya, baru kali ini aku melihat seseorang tersenyum indah dengan penuh ketulusan seperti dia.
“Hei, apakah kau terpesona dengan ketampananku? Sampai-sampai kau tidak mengedipkan matamu sekalipun, ckckckck..” Dia menggelengkan kepalanya setelah mengucapkan kata-kata yang membuatku salah tingkah itu.
Aku memperbaiki posisi dudukku, dan kembali menatap lurus kedepan, “T-tidak! Jangan kegeeran. Aku hanya, aku hanya.. hanya..”
“Hanya apa??” tanyanya sambil tersenyum menggoda.
“Aku hanya.. Hanya memperhatikan kotoran yang ada pada matamu.” Jawabku asal. Bodoh! Kenapa aku menjawab seperti ituu?? Hah, sudahlah! Pasti dia telah memikirkan sesuatu yang buruk tentangku.
“Ha?” dia tampak kaget. “Padahal aku sudah mandi, dan berkaca, memastikan tidak ada sesuatu apapun di wajahku.” ujarnya, sambil meraba sekeliling mata hazel-nya mencari kotoran yang sebenarnya tidak ada itu.
“Apa?? K-kau bercermin?? Aku kira hanya wanita yang tahan bercermin berjam-jam, demi memastikan ia tampil sempurna setiap harinya.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan yang sebenarnya tidak berguna itu. Aku memaksakan tawaku, tapi tawa itu malah terdengar mengerikan.
Kevin tetap sibuk meraba-raba matanya mencari kotoran semu itu. Ia tampak tidak memedulikan kata-kataku. “Sudahlah, hentikan pencarian kotoran itu. Sekarang matamu sudah bersih.” Kataku yang mulai jengah melihat kelakuan laki-laki yang duduk disebelahku ini. “By the way, selama ini kau menetap dimana? Kau bilang, kau juga merupakan keturunan Korea, berarti kau juga fasih berbicara dalam bahasa korea, dong?” tanyaku kemudian. Entah hal apa yang membuatku ingin sekali mengorek-ngorek informasi lebih dalam mengenai lelaki ini. Padahal, 30 menit yang lalu aku sama sekali tidak peduli, bahkan aku menunjukkan sikap tidak bersahabat dengannya.
Ia mulai menjawabku, setelah tidak lagi sibuk dengan matanya, “Aku? Ohh, selama ini aku menetap di Manchester bersama ibu dan kedua kakakku. Pekerjaan ayah mengharuskanku untuk tetap tinggal di sana. Sedang, ayah tidak serumah dengan kami, beliau sering berpergian ke luar negeri untuk menyelesaikan penelitiannya, dan akan kembali ketika musim panas tiba.” Ia berhenti sejenak untuk menghirup udara segar di taman ini, sekilas aku melihat raut kesedihan saat ia membahas ayahnya, terbesit seberkas kerinduan mendalam disetiap kata-kata yang ia ucapkan. “Mm, soal Korea... Jujur aku tidak tau banyak. Aku juga tidak dapat berbahasa Korea selancar aku berbicara dalam bahasa Indonesia. Aku tidak seperti kedua kakakku yang begitu tergila-gila dengan K-Pop, K-Drama ataupun semacamya. Karena aku seorang pria, mungkin itu salah satu faktornya. Disaat kedua kakakku mendatangi ayah –ketika beliau tidak sibuk- untuk memintanya menjelaskan apapun tentang Korea, justru aku akan dengan senang hati mendatangi ibuku untuk menjelaskan Indonesia padaku. Aku lebih tertarik dengan budaya Indonesia dan apapun yang ada di sini. Aku menyukai keramahan setiap penduduknya, berbeda dengan di Eropa ataupun di Korea. Korea, meskipun mereka ramah tapi tetap saja aku merasakan atmosfer yang berbeda ketika aku berada disini –Indonesia-.  Kata ibu, aku seperti ayah. Beliau juga jauh lebih mencintai Indonesia ketimbang kampung halamannya sendiri. Baginya sampai ke Indonesia dan bertemu ibu adalah anugerah. Dan itu jugalah yang aku rasakan saat ini.” Tambahnya.
Aku mendengarkan dengan seksama, seolah tidak ingin ketinggalan satu hurufpun dalam setiap untaian katanya. Kemudian aku kembali bertanya, “Lantas apa yang membuatmu berada di Indonesia sekarang?? Apa kau berlibur? Apakah ibumu ikut??” pertanyaan itu mengucur deras dari mulutku tanpa bisa aku kendalikan. Aku terlihat seperti anak kecil yang menuntut sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan konyolnya.
“Kau sungguh memiliki rasa ingin tau yang besar, hahahaha” ia tergelak. “Aku tidak sedang berlibur, dan tentu aku bersama ibuku. Aku dan ibu memutuskan untuk menetap di Indonesia. Kedua kakakku sudah lulus SMA, dan sedang melanjutkan kuliahnya. Mereka berdua memutuskan untuk mengambil universitas berbeda dan juga di negara yang berbeda. Jika kakak tertuaku memilih Boston, maka kakak keduaku memilih Sydney sebagai kota tujuannya. Sejujurnya aku bingung melihat tingkah mereka, terlebih pada kakakku yang kedua, sungguh banyak universitas bagus di Eropa dan Amerika, tapi dia jauh-jauh terbang ke Australia untuk melanjutkan sekolahnya. Terkadang aku merasa, bahwa mereka sungguh konyol.” Dia tersenyum ketika mengatakan hal itu, sepertinya ia sedang mengenang masa-masa indah bersama kedua kakaknya. “Karena itulah, aku dan ibu memutuskan untuk pindah ke sini, kami merasa kesepian disana. Dan untungnya, ayah menyetujuinya. Ayah juga tidak tega jika harus meninggalkan kami berdua di Manchester, jadi ia setuju atas keputusan ini. Menurutnya, ibu dan aku akan lebih aman jika berada di Indonesia.” Jelasnya panjang lebar. Aku menatap wajahnya, senyumannya belum juga sirna. Hampir saja aku kembali terhipnotis dengan senyuman dan keceriannya, hingga aku merasakan ada getaran yang berasal dari kantong bajuku. Aku mengambil smartphone yang aku letak di dalam kantong bajuku. Aku melihat pada LCD nya. Ada sms, dari Ibu...

From: Mommy
Aira, kamu dimana, Nak? Ayah mencarimu dari tadi...

Seketika aku beranjak dari bangku yang sedari tadi aku duduki bersama Kevin, ia tampak kaget melihatku yang bergegas ingin pergi dari taman ini.
“Ada apa?” tanyanya.
“Ayahku mencariku, aku harus pulang sekarang. Aku tak mau mereka khawatir, dan aku tak mau terjadi sesuatu padaku jika aku lebih lama lagi disini.” Aku mencoba menjawabnya dengan tenang.
Seolah mengerti keadaanku, dia berujar, “Baiklah, hati-hati ya!” Ia kembali tersenyum, dan akupun membalas senyumannya. Mungkin inilah senyuman pertama yang aku berikan padanya, mengingat kelakuanku yang begitu kasar terhadapnya tadi. Tapi tak lama, aku mendengar dia mencegatku.
“Tunggu! Izinkan aku untuk mengetahui namamu lebih dulu.” Dia terlihat polos saat menanyakan hal itu. Aku menepuk jidatku, aku sampai lupa mengenalkan diriku saking seriusnya mendengar kisah hidup seorang Kevin Rasta. Lagi pula, dia sama sekali tidak menanyakan namaku tadi, jadi ini bukan sepenuhnya salahku.
“Aira, namaku Aira..” jawabku cepat, namun aku berusaha membuatnya terdengar jelas dengan mengulangnya. Aku bergegas mengambil sepedaku, dan langsung mengayuhnya dengan kecepatan tinggi untuk ukuran sebuah sepeda. Sebelum aku meninggalkan taman itu, aku masih melihatnya berdiri mematung, memandangi kepergianku dengan sebuah senyuman yang mampu membuatku terhipnotis itu...