Aku sampai di rumah. Terdengar suara besar ayah saat
aku memakirkan sepedaku di garasi. Lagi-lagi mereka berantem. Mungkin aku
memaklumi jika itu terjadi sekali atau dua kali, tapi mereka melakukannya setiap
hari. Itu jugalah yang membuatku selalu melarikan diri ke tempat-tempat yang
tidak mudah dijangkau oleh orang lain, salah satunya taman itu. Dulu, ayah dan
ibu tidak seperti ini, setidaknya sampai Kak Keisha meninggal pada kecelakaan 5
tahun lalu. Sejak saat itu suasana rumah jauh berbeda, tidak ada lagi canda
tawa seperti biasanya. Setiap mereka membahas kematian Kak Keisha pasti
berujung pada perkelahian. Mereka seolah tidak memedulikan keberadaanku, mereka
tidak menyadari bagaimana sakitnya aku ketika Kak keisha, kakakku yang paling aku
sayang meninggalkan aku. Ditambah lagi, aku harus menyaksikan perkelahian ayah
dan ibuku setiap harinya. Kalau aku boleh memilih, aku akan menyusul Kak Keisha
di surga.
***
5 tahun lalu. Ibu mengajak kami –aku dan Kak Keisha-
bermain di taman seperti biasanya. Aku turut membawa kucing kesayanganku. Saat aku
sedang bermain dengan kucingku, tiba-tiba saja kucing itu berlari ke tengah
jalan. Aku mencoba menyusul kucing itu, tapi dikejauhan aku melihat sebuah truk
hendak melintasi jalanan di depanku. Tiba-tiba, Kak Keisha berlari ke arah
kucing itu. Naas, truk besar itu
menghantam tubuh kecil Kak Keisha. Aku shock dan seketika tubuhku
mematung. Ibu berteriak dan langsung menghampiri Kak Keisha yang sudah
tergeletak penuh darah. Aku tidak mampu berbuat apapun selain menangis. Tak
lama, Ayah datang diikuti mobil ambulance. Mereka langsung membopong tubuh Kak Keisha masuk ke dalam mobil berwarna
putih itu. Ibu juga ikut mengantar Kak Keisha dengan ambulance itu. Ayah
datang menghampiriku dan menggendongku. Aku masih menangis, malah semakin
keras. Ayah tak kuasa melihatku yang begitu shock, ia mencoba
menenangkan ku meskipun sebenarnya dia juga begitu rapuh saat ini. Bagaimana
tidak? Kak Keisha begitu dekat dengan ayah, dan sekarang ayah harus menghadapi
kenyataan bahwa putri terdekatnya itu sedang sekarat. Dalam hati aku
menyalahkan diriku sendiri, kalau saja aku tidak bermain dengan kucing itu, dan
kucing itu tidak berlari ke tengah jalan, maka Kak Keisha tidak akan seperti
ini. Aku merasa berdosa pada ayah, dan ibu. Aku merasa bersalah pada Kak
Keisha. Aku hanya bisa mengutuk diriku sendiri saat itu.
Masih terbayang olehku, saat dokter berkata kalau
jiwa Kak Keisha tidak bisa diselamatkan. Mendengar itu, ibu menangis histeris
dan ayah? Beliau meninjukan tangannya pada sebuah tembok tanda frustasi. Baru kali
ini aku melihat ayah seperti itu, biasanya beliaulah yang selalu menghadirkan
tawa dan canda di rumah. Sejak saat itu, tidak ada lagi senyuman dan keceriaan yang
terpancar dari wajah ayah, ibu, maupun diriku sendiri. Sekeras apapun aku
berusaha tersenyum, tetap saja senyuman itu terasa hambar. Aku selalu
menyembunyikan kesedihan dari orang-orang yang berada disekelilingku, aku berusaha
bersikap bahwa tidak ada yang terjadi pada diriku pasca kejadian itu. Pada
kenyataannya semua berbanding terbalik...
***
“Aku pulang...” ucapku ketika membuka pintu rumah
yang tidak terkunci.
“Dari mana saja kamu??” kata Ayah yang tiba-tiba
saja sudah ada di depanku.
“Dari taman.” Jawabku singkat.
“Sudah berapa kali ayah bilang, jangan bermain
terlalu jauh dari rumah! Tidak bisakah kamu bercermin dari apa yang sudah
terjadi pada kakakmu?!” bentak ayah. Ibu datang menghampiriku, dan memeluk
tubuhku. Ibu mencoba menenangkan ayah agar tidak lagi memarahiku.
“Ayah, kakak sudah meninggal 5 tahun lalu! Kenapa
ayah selalu mengungkit kematian kakak?? Biarkan kakak tenang, yah..” ujarku.
Mendadak mataku panas, dan pandanganku sudah mulai mengabut. Aku menggigit
bibir bawahku agar air mataku tidak menggenang. “Ayah dan ibu selalu kelahi
ketika sudah membahas kematian kakak. Ayah selalu memarahi ibu dan
menyalahkannya. Ketika itu terjadi, kalian selalu membahas perceraian. Kalian begitu
egois! Kalian berkelahi di depan mataku tanpa memikirkan perasaanku.” Aku menarik
napas panjang, mencoba mengatur emosiku yang meledak letup. “Ayah, bisakah ayah
tidak membahas kematian kakak lagi? Bisakah ayah hidup tanpa bayang-bayang
kakak? Ayah berlaku seperti hanya kakak, satu-satunya putri yang ayah harapkan.
Lantas, bagaimana denganku?? Bisakah ayah sekali saja memikirkan diriku? Perasaanku?
Bisakah ayah kembali seperti dulu? Menjadi orang yang penuh canda dan tawa?”
aku tak kuasa menahan air mataku. Aku sudah berusaha sekuat mungkin, tapi aku
tidak bisa.
Ayah tampak kaget mendengar perkataanku, begitu juga
dengan ibu. Mereka tidak menyangka, jika akulah yang paling menderita disini. “Aira,
maafkan ayah, Nak! Ayah takut kehilangan dirimu seperti halnya ayah kehilangan
Keisha. Maafkan ayah! Ayah tidak memikirkan perasaanmu, ayah tidak menyadari
bahwa kaulah yang paling menderita saat ini. Maafkan ayah, maafkan ayah! Ayah
berjanji, ayah akan melepas dan mengikhlaskan kepergian kakakmu, ayah tidak
akan mengungkit masalah itu lagi. Ayah berjanji akan kembali seperti dahulu,
menjadi ayah yang diharapkan oleh putri ayah selama ini.” Ayah menitikkan air
matanya. Kemudian, dia memelukku erat. Aku merasakan kehangatan yang selama 5
tahun ini sangat jarang aku rasakan. Kembali aku menangis dalam pelukan ayah,
juga ibuku. Ayah melepaskan pelukannya, dan menghampiri ibu untuk meminta maaf.
Inilah yang aku harapkan, keharmonisan keluarga. Aku tersenyum melihat ayah dan
ibuku yang kini telah berbaikan. Aku berharap semua ini akan bertahan lama.
***
Cahaya matahari pagi membangunkanku. Aku melihat jam
yang tergantung di dinding kamar, jam 06.30. Aku merasa senang hari ini, semangat
baru menguasai tubuhku. Bergegas, aku mengambil handukku dan berlari ke kamar
mandi yang tak jauh dari kamarku. Setelah selesai berpakaian, aku langsung
menuruni tangga dan berjalan ke arah ruang makan. Aku melihat ayah yang sedang
asyik dengan korannya sambil menunggu ibu yang masih menyiapkan sarapan.
“Pagi ayah, pagi ibu!” sapaku riang sambil menciumi
pipi mereka. Aku menarik kursi yang berada di sebelah ayah, dan duduk di
atasnya.
“Pagi sayang.” Balas ayah dan ibu serentak. Mereka saling
berpandangan, dan aku tertawa melihatnya.
“Sepertinya anak ayah senang sekali hari ini, apa
ada sesuatu yang terjadi?” tanya ayah seraya memandangi wajahku.
“Tentu! Pagi ini indah sekali. Aku bisa menikmati
sarapan bersama kalian.” Jawabku.
“Bukankah kita selalu melakukannya?” kali ini ibu
yang bertanya.
“Memang, tapi kali ini suasananya berbeda.” Jawabku
lagi. Ayah dan ibu tersenyum memandangiku, seolah mengerti apa yang aku
maksudkan.
“Ayah, nanti aku izin pergi ke taman ya?” pintaku
pada ayah.
“Taman? Untuk apa?” tanya ayah. Raut wajhanya
berubah serius.
“Ayah, ayolah! Bukankah ayah sudah berjanji untuk..”
ucapku gantung. Aku sengaja melakukannya, berharap ayah mengerti apa yang ku
maksud.
“Iya, iya boleh. Ayah hanya ingin menggodamu. Tapi,
bukankah tak ada lagi alasanmu untuk pergi ke taman?” tanya ayah sambil
mengoleskan selai blueberry pada rotinya.
“Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Setahu ayah, kamu pergi ke taman untuk melampiaskan
kesedihanmu. Dan sekarang apa lagi yang ingin kamu lampiaskan?”
“Bagaimana ayah bisa tau?” tanyaku sambil menaikkan
sebelah alis mataku.
“Mm, naluri seorang ayah.” Jawabnya asal.
“Benarkah itu naluri?? Jangan-jangan ayah menyewa
detektif untuk menyelidikiku?? Atau ayah berubah menjadi stalker??”
tanyaku ngawur.
“Hahahahaha, kamu ini ada-ada saja.” Ucap ayah,
tertawa geli.
***
Aku berjalan dan memandangi sekeliling taman. Sebenarnya,
aku tidak tau apa alasanku datang ke taman ini. Betul kata ayah, aku sudah
tidak mempunyai alasan untuk berkunjung ke taman ini. Tapi, entah kenapa aku
berharap, aku dapat bertemu dengan Kevin. Aku... aku ingin mengucapkan terima
kasih. Secara tidak langsung, cerita tentang kehidupannya membuatku berani
mengatakan semua yang aku rasakan pada ayah dan ibuku. Dan.... aku ingin
melihat senyumannya lagi.
“Hai Aira! Apakah kau menungguku??” tanya sebuah
suara dari orang yang memang sangat aku tunggu kehadirannya.
“A-apa? Ti-tidak mungkin. Untuk apa aku menunggumu??
Jangan kegeeran deh!” jawabku gugup.
“Hahahaha, jujur saja. Aku bisa memakluminya.”
“Aaah, lupakan saja! Btw, thanks
a lot!” ucapku padanya.
“Terima kasih atas apa??”
tanyanya bingung.
“Mm, bagaimana mengungkapkannya? Umm,
secara tidak langsung ceritamu membantuku untuk memecahkan masalah.” Jawabku.
“Tapi, kau belum menceritakan
masalahmu padaku.”
“Itu tidak penting, yang jelas
kau telah membantuku.” Ujarku sambil tersenyum. Kemudian, aku berjalan menuju
bangku taman yang biasa aku duduki.
“Begitu ya?? Baiklah.” Dia mengikuti
ku dan duduk di sebelahku.
Hening.. itulah yang terjadi
setelah ia duduk disebelahku. Jujur, aku tidak tau apa yang harus aku bicarakan
padanya.
“Aira, berapa umurmu?”
pertanyaannya memecah keheningan diantara kami.
“13 tahun, kau??”
“Aku? 15 tahun. Berarti kau lebih
muda dariku. Seharusnya kau memanggilku kakak.” Jawabnya. Benar dugaanku, ia
memang lebih tua dariku.
“Kakak?? Haruskah aku memanggilmu
begitu?” tanyaku padanya.
“Tentu, bukankah budaya di
Indonesia begitu kental. Kau harus memanggil seseorang yang lebih tua dengan
sebutan kakak.” Jelasnya.
“Baiklah, kalau begitu aku akan
memanggilmu Kak Kevin.” Ujarku, lalu tersenyum. Entah apa yang membuatku
menuruti perkataannya, padahal biasanya sulit bagiku untuk menuruti perkataan
orang lain. Tapi, entah kenapa, aku merasa nyaman berada di samping pria ini.
“Bagus, kau memang anak yang baik
dan penurut.” Balasnya sambil membalas senyumku. ‘Ya Tuhan, haruskah dia
tersenyum sekarang.’ Batinku. Lagi-lagi senyumannya mampu membuatku salah
tingkah. “Mm, Aira, apakah kau mempunyai seorang kakak?” tanyanya tiba-tiba.
“Ada. Aku mempunyai kakak
perempuan yang usianya lebih tua 3 tahun dariku. Tapi, dia sudah meninggal 5
tahun lalu.” Jawabku. Aku tersenyum hambar, pertanyaannya membuatku harus
mengingat kejadian mengenaskan itu.
“Ahh, ohh, mm, maafkan aku. Aku
tidak bermaksud untuk... Maaf, aku tidak mengetahuinya.” Ucapnya menyesal.
“Bukan masalah. Itu juga bukan
salahmu, kan?” balasku kemudian. “Mm, Kak, kau bersekolah dimana?” tanyaku
memecahkan kecanggungan yang sempat terjadi diantara kami.
“Di President International High
School. Aira sendiri??” tanyanya balik.
“President, kak?? Itukan sekolah
internasional paling bagus di Indonesia. Rencananya, tamat SMP aku mau ngelanjutin
sekolah disitu. Sekarang aku masih sekolah di SMPN 1 kak. Ayah gak ngizinin aku
sekolah di swasta, Ayah bilang lebih baik negeri daripada swasta. Padahal, dari
dulu aku pengen ngerasain sekolah di swasta. Tapi, bagaimanapun juga,
aku harus nurutin kata-kata Ayah. Karena aku tau itu yang terbaik buat aku.
Yah, setidaknya ayah masih ngasih kesempatan untu bersekolah di swasta SMA
nanti.” Jelasku panjang lebar.
Makin lama, topik pembicaraan
kami semakin luas. Aku mulai merasa dekat dengan Kevin. Aku merasakan kehadiran
seorang kakak saat bersamanya. Tidak jarang aku tertawa mendengar perkataannya.
Tidak jarang juga aku mengagumi setiap kata-kata bijak yang ia ucapkan. Meskipun
aku baru mengenalnya kemarin, tapi aku merasa bahwa aku telah mengenalnya
bertahun-tahun sebelumnya.
Hari sudah menjelang sore. Aku
tidak sadar, entah sudah berapa lama aku di taman bersamanya. Padahal, aku izin
hanya untuk beberapa jam saja.
“Kak, sudah sore. Aku pulang
dulu, ya?” pamitku padanya. Aku harus pulang sekarang, aku tidak mau membuat
ayah dan ibu khawatir.
“Ohh, baiklah. Hati-hati ya.” Balasnya.
Aku mengangguk ke arahnya. Aku berjalan menghampiri sepedaku dan mulai
menaikinya.
“Aira..” panggil Kevin, aku pun
menoleh ke arahnya. “Terima kasih atas waktunya hari ini. Sampai jumpa.” Ucapnya
sambil tersenyum. Aku kembali mengangguk dan membalas senyumannya. Hari ini,
memang hari terbaik yang pernah ada.
***